Pagi itu aku sudah duduk manis didalam
kereta. Kulirik jam tanganku. Pukul 7 lebih 20 menit. Perjalanan kali ini tidak
akan lama. Aku duduk menyandarkan punggungku lebih nyaman sambil melihat keluar
jendela. Entah sudah perjalanan keberapa kali ini. Aku yakin petugas loket
stasiun pastilah sudah hafal dengan wajahku dan jam kedatanganku. Tujuanku saja
yang berbeda-beda. Kuraih telepon genggam yang ada didalam tasku dan
menchargenya. Sepasang pemuda pemudi duduk dihadapanku sambil berbincang seru.
Aku tebak usia mereka sekitar awal 20an. Aku tersenyum melihatnya. Dulu juga kau begitu, Sha, batinku.
Sejenak aku teringat kejadian lampau.
Aku baru memasuki kereta. Pandanganku mencari-cari nomor seat yang dimaksud.
Kubaca lagi pesan darinya untuk memastikan seat yang dimaksud. Mana ya? Tanyaku pada diri sendiri
sambil terus melangkah. Ah, that’s it.
Akhirnya aku menemukannya. Dia menoleh ke arahku sambil tersenyum melirik ke
sebalah kirinya. Kubalas dengan tersenyum seakan mengatakan tak apa aku bisa
duduk di bangku lain. Setelah mendapatkan tempat duduk, telepon genggamku
berdering pertanda pesan masuk.
“Sorry nggak aku jagain tempatnya” katanya.
“Haha, nggak apa-apa masak iya kamu tega
mau ngelarang ibu-ibu duduk disebelahmu” balasku.
Seperti biasa, aku selalu duduk di dekat jendela. Tiba-tiba dia muncul duduk
disebelahku sambil berkata
“Kok nggak bilang kalo sebelahmu kosong?”
Tanyanya yang kujawab dengan senyuman.
Ah, waktu itu perjalanan pertama kami naik kereta ke
tempat yang lumayan jauh. Aku sangat senang. Menghabiskan waktu dengannya
membuatku candu. Kalau bukan karena tugas dari kampus aku rasa dia tak akan mau
naik kereta.
“Disini
ada orangnya, Mbak?” Tanya seorang
bapak-bapak padaku membuyarkan lamunanku.
“Oh
nggak, Pak. Silahkan” Kataku. Bapak
itu langsung duduk dan menata barang bawaannya supaya ia bisa duduk nyaman.
“Sendiri?”
Tanya bapak disebelahku yang ternyata namanya Pak Atmo.
“Hehe,
iya pak. Bapak juga?” Balasku. Sebenarnya aku sedang tidak ingin berbincang
dengan siapapun tapi aku rasa tidak sopan menolak ajakan berbicara seseorang.
Apalagi dia lebih tua dariku.
Kami pun mengobrol ngalur ngidul. Itu sedikit
mebantuku mengalihkan rasa yang sama setiap kali aku naik kereta. Tidak lama
bapak itu ijin padaku untuk tidur karena dia tidak tidur semalam karna menjaga
anaknya yang sakit. Sepasang pemuda-pemudi didepanku juga melakukan hal yang
sama dengan bapak disampingku. Mereka tertidur dengan menggunakan earphone bersama.
Kupandang pepohonan yang ada diluar
jendela. Aku teringat, saat itu kami mendapat tugas untuk survey disebuah desa.
Tidak berdua. Beramai-ramai. Hanya berangkatnya saja yang kebetulan berdua naik
kereta. Sesampainya dilokasi hari sudah petang. Aku, dia, dan Alma memutuskan
untuk makan malam diluar basecamp. Selesainya kami makan, kami berjalan kembali
ke basecamp. Tapi, ia menahanku untuk tetap bersamanya.
“Nanti dulu kembalinya”. Pintanya menarik lenganku. Alma sudah
kembali terlebih dahulu karna lelah perjalanan jauh.
“Eh, lihat bintangnya keliatan jelas!” Aku menengadah terkagum-kagum. Saat itu
kami dipinggir jalan, kami pun mencari tempat duduk yang layak untuk memandang
langit. Aktivitas favorit kami. Saat melewati toko aksesoris, kami mampir
sebentar. Aku tak begitu tertarik, ia yang bersemangat. Tak terasa kami
mengobrol cukup lama hingga jam menunjukkan pukul 11 malam. Aku mengenakan
gelang berwarna merah marun seperti yang ia kenakan yang ia beli di toko tadi.
Besoknya, kami bangun dan langsung
bergegas bersih diri. Kegiatan survey dilakukan pagi ini. Kami berangkat
beramai-ramai dengan mahasiswa lain menggunakan bus sewaan. Bus hanya mengantar
kami sampai ujung jalan beraspal. Sisa perjalannya kami harus menaiki truck
karena medannya yang tidak dapat dilalui bus. Semalam ternyata sempat hujan,
hingga membuat jalanan licin. Aku menikmati pemadangan hijau kanan kiriku. Kapan lagi liat beginian, batinku. Kamu
ada di truck yang lainnya. Hingga truck berhenti karna tidak bisa melewati
medan sisa perjalanan. Kami harus berjalan kaki menaiki bukit dan melewati
sungai. Kamu tiba-tiba sudah berjalan disebelahku.
“Nah, ndaki tuh sama kayak gini juga
medannya” Kamu bercerita asik
pengalamanmu mendaki beberapa hari lalu. Pengalaman pertamamu. Aku mendengarkan
dengan seksama. Memperhatikanmu begitu antusias bercerita. Seperti seorang anak
kecil yang diajak keliling kebun binantang. Aku tersenyum. Beberapa teman
memanggilmu untuk membantu mereka melakukan sesuatu, kamu menoleh dan
berpamitan kepadaku.
Aku ingat, saat itu musim hujan dipertengahan
bulan Februari. Perlahan hujan mulai turun rintik-rintik. Aku bersama Alma
berjalan beriringan. Aku sangat amat menikmati perjalanan seperti ini. Hingga
aku tak sadar meninggalkan Alma dibelakangku. Ia nampak kelelahan.
“Nggak papa, Al?” Tanyaku cemas memeprhatikannya yang berusaha bernafas dengan
normal.
“Aku nggak kuat, Sha. Susah banget buat
nafas” Kata Alma sambil berpegangan pada lenganku. Tangannya bergetar. Seketika
aku langsung memberitahu keadaan Alma kepada teman-teman yang lain. Melihat
Alma kelelahan karna perjalan jauh semalam, akhirnya kami beristirahat di
warung penduduk. Aku menemani Alma yang tidur di gubuk pemilik warung.
Sedangkan teman-teman tetap menuju lokasi survey, kami diminta menunggu hingga
mereka turun. Tak masalah buatku, asal tak ada korban di kegiatan ini.
Lamat-lamat memperhatikan hujan, aku pun
perlahan mengantuk dan tertidur disamping Alma. Tiba-tiba aku merasakan tetesan
air dipipiku. Saat aku membuka mata, kulihat gubuk ini bocor disana sini. Diluar
hujan sangat deras. Angin bertiup kencang hingga gubuk yang kami tempati
bergoyang-goyang. Alma terlihat kesulitan bernafas. Aku panik melihatnya begitu
pucat terenggah-enggah. Kucoba membangunkannya sambil menyelimutinya dengan
kain yang dapat kutemukan diranjang.
“Sha.... se...sak......” kata Alma terbata-bata. Aku segera
mengambil minyak kayu putih dan menggosok-gosokan ke tangan dan kakinya. Aku
tahu Alma tidak memiliki penyakit asma. Jadi hanya itu yang bisa kulakukan. Hujan
semakin deras. Aku semakin panik. Aku
keluar gubuk untuk menemui pemilik warung. Tak ada orang. Bagaimana ini? Batinku. Tak ada rumah penduduk disekitar sini. Kuraih
ponselku, tak ada sinyal. Sial! Kataku.
Dalam situasi seperti ini aku hanya bisa berdoa dan berharap ada seseorang yang
akan lewat.
Beberapa menit kemudian, kudengar suara
berbincang sambil berlarian melewati gubuk kami. Aku segera keluar dan
berteriak. Mereka terkejut dan segera membantu kami turun. Aku segera
memasangkan jas hujan untuk Alma dan tak lupa kutulis pesan terima kasih dan
beberapa lembar uang untuk pemilik gubuk ini. Dalam perjalanan aku menanyakanmu
kepada teman-teman. Masih dibelakang, kata
mereka. Semoga saja kamu cepat kembali karna aku khawatir dengan cuaca buruk
seperti ini. Apalagi mengingat medan yang akan kita lalui untuk kembali juga
tidak mudah.
Aku memegang erat lengan Alma saat
menyebrangi sungai. Sungguh mengerikan saat melihat sungai meluap dengan arus
yang deras. Aku dan Putra memegangi Alma sambil melangkah dengan hati-hati. Sekali
saja terpeleset kita bisa hanyut. Saat melangkah aku salah memijakkan kaki pada
batu yang berlumut. Seketika badanku goyah dan melepaskan peganganku pada Alma
agar ia tak terjatuh. Teman-teman berteriak.
“Dendy, pegangin Alma!” teriakku. Dendy berada ditengah-tengah
sungai untuk membatu teman-teman menyebrang. Ia dengan sigap menangkap tubuh
Alma. Untung Alma tidak jatuh, kataku.
Badanku dingin menyentuh air. Aku seakan berjalan menjauh.
Lamunanku tersentak oleh suara petugas
yang memberitahukan kereta telah sampai ditempat tujuanku. Kulihat sepasang
pemuda didepanku sudah tak ada. Begitu pula dengan bapak-bapak yang ada
disampingku. Sepertinya mereka turun di stasiun sebelumnya. Aku merapikan barang
bawaanku dan mengambil ponselku yang tadi dicharge. Aku berdiri melangkah
keluar gerbong.
Aku menyebrangi rel-rel menuju pintu keluar. Kulihat
banyak kerumunan mahasiswa dikanan kiriku. Sejenak aku berhenti menatap layar
ponselku. Ah, setahun lalu bukannya aku kemari bersamamu? Tapi kini aku seorang
diri. Diantar kerumunan orang didepanku, tepat didepan musholla aku melihat
sesosok yang sangat amat kukenal. Sosok yang membuatku candu berpergian dengan
kereta seorang diri. Kamu. Aku tak bisa merasakan degup jantungku kala itu
melihatmu. Tepat dibawah tulisan ‘Stasiun Jember’ Kamu berdiri menghadap aku.
Aku termenung. Seketika aku tersenyum melangkahkan kaki perlahan mendekatimu. Kamu
sibuk dengan ponselmu. Entah siapa yang kau hubungi. Hingga aku benar-benar
dihadapanmu pun kamu tak menyadarinya. Aku perhatikan wajahmu dengan seksama.
Masih sama seperti dulu. Rambut itu. Rambut berantakan yang selalu senang kumainkan
jika aku kesal denganmu. Ingin aku melakukannya lagi. Bahkan, gelang biru
dongker itu masih kau kenakan. Tapi, kenapa raut wajahmu muram. Perlahan aku
berdiri kesampingmu dan melihat dengan penasaran siapa yang coba kau hubungi. Itu, fotoku!
Baca cerita lainnya di sini 😁
Post a Comment