“Hmmm,
apalagi ya? Ini udah, ini udah, ini udah, kayaknya udah semua. Oh ya, baju
ganti,” kataku segera membuka lemari pakaian dan mengambil beberapa pakaian
bersih. “Oke udah semua,” aku pun keluar kamar dan berpamitan dengan Mama.
“Kamu naik apa, Mbak?” tanya mama yang sedang
membersihkan kamar.
“Gojek
aja, Ma,” ujarku sambal memesan ojek online.
“Yaudah,
hati-hati ya,”
“Assalamualaikum,” aku pun mencium tangan mama dan pergi.
“Waalaikumsalam”
**
Setibanya
di terminal Bungurasih, aku berjalan santai menuju ke dalam terminal. Aku sudah
mulai terbiasa dengan terminal ini. Sekarang terminal ini sudah tampak bagus.
Kinerja Ibu Walikota memang tidak diragukan lagi. Dalam beberapa tahun menjabat
saja beliau sudah banyak melakukan perbaikan di kota ini. Sebuah kemajuan untuk
pelayanan publik. Aku menyusuri lorong melewati barisan penjual makanan dan
berbelok ke kiri memasuki ruangan serba putih berjalan menuju eskalator naik.
Aku teringat beberapa hari lalu membeli kudapan di penjual dekat eskalator ini.
Sungguh mahal bukan main harganya. Aku tak akan mengulanginya lagi.
Saat
menginjak lantai 2 aku berjalan ke arah kanan dan berbelok ke arah kiri
menyusuri lorong. Hari ini tidak begitu banyak orang berpergian. Maklum, bukan
hari libur atau akhir pekan.
“Kediri!
Tulungagung!” Para calo yang nampak akan haus mangsa berlomba-lomba menawarkan
tujuan bus mereka.
“Malang!
Blitar! Langsung, langsung!” teriak salah seorang supir bus. Aku pun berbelok dan menuruni tangga berplakat
nomor 7 ini.
“Malang, Mbak?” aku mengangguk dan mengikutinya ke bus. “Woy, Mbak
e Malang!” teriaknya pada temannya dibawah. Aku masuk ke dalam bus dan mencari
kursi kosong yang berada di tepi jendela.
“Oke, bus, mari kita mulai perjalanan
lagi. Harus sabar,” aku menghela nafas dalam-dalam menenangkan diri. Sepuluh
menit kemudian bus berangkat.
Selama
perjalanan aku asyik melihat ke luar jendela. Kapan lagi bisa mengamati
perkembangan kota ini dengan tenang. Toh, biasanya aku menjadi pengemudi bukan
penumpang. Dinding beton mulai tumbuh subur menjulang di kota ini. Aku bahkan
kesulitan menemukan lahan kosong di pinggir jalan. Sampai setinggi apa bangunan
ini nanti? Berapa lama bumi bisa bertahan memikul beban ketamakan manusia di
sini? Entahlah. Tidak akan ada yang tahu aku rasa.
Semenjak ruas jalan tol Pandaan-Malang
jadi, bus lebih memikat hatiku. Selain karena fleksibel, pada akhirnya jauh
lebih cepat naik bus ke Malang. Terima kasih kepada bapak presiden yang sudah
membenahi pembangunan Indonesia. Tanpa adanya tol baru ini, mungkin aku akan
masih terjebak dalam macet yang disebabkan oleh Pasar SIngosari. Aku pernah terjebak
macet hingga 1 jam disana. Sungguh melelahkan. Tak apa, yang penting sekarang
sudah tak begitu lagi.
Pemandangan bangunan beton sudah
berganti hamparan sawah. Beberapa petani nampak sedang bekerja dengan
cangkulnya. Dari kejauhan nampak sesosok anak kecil berlarian dengan temannya. Mungkin
sudah sangat menyenangkan bagi mereka hidup seperti itu. Mereka bahkan tak
pernah menuntut lebih. Seandainya seluruh penghuni pencakar langit menganut
paham yang sama dengan anak-anak itu. Aku pun hanya tertawa kecil membayangkannya.
Setelah satu jam setengah,
tibalah aku di tujuanku. Saat tujuanku disebutkan aku bersiap untuk turun. Ikut
mengantri dengan yang lain menuju pintu bus. Bus berhenti sempurna di depan
mini market. Kami turun satu per satu. Hal pertama kali yang aku lakukan adalah
emnghirup udara segar ini dalam-dalam sambil memejamkan mata. Segar sekali.
“Sya” seseorang memanggil namaku
dan membutaku terkejut bukan main saat melihat wajahnya.
Baca juga: Resep Jajanan Nggak Sehat yang Bikin Happy
Baca cerita lainnya di sini 😁
Post a Comment