Sutradara :
Joko Anwar
Penulis Naskah : Joko Anwar
Durasi :
123 menit
Pemain : AbimanaAryasatya (Sancaka),Tara Basro
(Wulan), Bront Palarae (Pengkor)
Sancaka
adalah anak dari seorang buruh pabrik. Ayah Sancaka dan para buruh berdemo di
depan pabrik untuk menuntut kenaikan gaji. Maklum, kebutuhan hidup semakin
tinggi harganya. Awalnya semua berjalan baik-baik saja saat kedua teman ayah
Sancaka diminta untuk berunding dengan pemilik pabrik. Konflik mulai terjadi
saat kedua buruh tidak kembali ke rumah selama tiga hari. Ayah Sancaka marah
dan kembali berdemo bersama rekannya. Bentrokan dengan aparat keamanan pun tak
dapat dihindarkan. Secara tiba-tiba ayah Sancaka di tusuk oleh seseorang dan
meninggal. Ternyata rumor bahwa kedua buruh tak kembali itu hanyalah jebakan
belaka. Sejak saat itu ibu Sancaka pergi dan tak kembali. Sancaka pun memilih
meninggalkan rumah. Perjalanan panjang pun dimulai.
Ia
mengamen di sepanjang jalan. Suatu ketika ia dikejar oleh segerombolan anak
remaja yang juga pengamen karena menolong seorang anak perempuan. Sancaka tidak
dapat berlari lagi dan dihajar beberapa remaja. Ditendang, dipukul, hingga
telinganya dirobek. Saat itulah Awang datang menolongnya. Setelah kejadian itu,
Sancaka tinggal bersama Awang. Awang mengajarinya bela diri dan berpesan, “Jika
ingin selamat, jauhi urusan orang lain” sejak saat itulah Sancaka mulai acuh
tak acuh dengan orang lain. Karena tak ingin mendapat masalah lagi.
Sancaka
dewasa bekerja sebagai penjaga keamanan dan teknisi di sebuah pabrik percetakan.
Suatu ketika, rekan kerja Sancaka berkata, “Hidup tak ada gunanya jika tidak
bisa memberikan manfaat kepada orang lain”. Sejak saat itulah ia mulai kembali
peduli kepada orang lain. Jika malam sebelumnya ia tak ambil pusing dengan
tetangganya yang mendapatkan masalah, kini ia peduli. Ia menghajar preman yang
mengganggu tetangganya, Wulan dan adiknya. Sayangnya mereka tak terima dan
kembali membawa pasukan untuk membalas dendam. Karena terlalu banyak, Sancaka
pun tak mampu. Ia kalah. Para preman melemparkannya dari atap. Hujan sedang
turun dengan lebatnya. Petir saling menyambar. Saat itulah, petir menyambar
tubuh Sancaka. Ia hidup kembali.
Secara tidak
sengaja, Sancaka bertemu kembali dengan para preman di pasar. Para preman
terkejut karena mengira Sancaka sudah meninggal. Perkelahian pun terjadi
kembali. Sancaka dengan 30 preman. Anehnya, kali ini ia menang. Ia pun merasa
heran. Begitupula dengan para pedagang di pasar. Mereka terkejut juga merasa
mempunyai harapan untuk menumpas para preman. Para preman membalas dendam
dengan membakar pasar.
Kesengsaraan para
pedagang meyakinkan Sancaka untuk membantu mereka. Sancaka belajar untuk
mengendalikan kekuatannya. Disaat yang sama, seorang preman membelot dan memberi
tahu Sancaka bahwa pelaku pembakaran pasar itu adalah pemain biola terkenal
yang ternyata adalah anak buah Pengkor. Pengkor adalah mafia yang memiliki anak
buah ribuan tersebar di nusantara. Anak buahnya adalah anak panti asuhan yang
ia sekolahkan. Yang kini mengabdi padanya. Salah satunya adalah anggota dewan
legislatif.
Suatu hari puluhan
ibu-ibu hamil muntah secara tidak wajar. Cctv gudang penyimpanan beras
menujukkan adanya sejumlah orang yang tidak dikenal masuk dan meracuni beras
secara acak. Hal ini menyebabkan keresahan pada masyarakat dan mendesak anggota
legislatif untuk segera bertindak. Mereka pun berusaha untuk dapat menghubungi
sang superhero yang selama ini menolong warga.
Sejak awal film
ini dimulai, saya sudah terkesima terlebih dahulu dengan visual yang memanjakan
mata. Dari tone warna, ketajaman, dan sudut pengambilan gambarnya. Selain itu
juga effect petirnya juga menyatu. Tidak nampak kalau itu editan. Akting pemainnya
juga menurut saya bangus. Saya suka sekali dengan acting Sancaka kecil. Menurut
saya benar-benar natural.
Meski bergenre
superhero, saya sempat deg-degan juga nonton film ini. Karena beberapa scene
seperti film horror hehe. Selain itu banyaknya adegan kekerasan membuat saya
sedikit ngeri. Meski hal tersebut tidak dapat dipungkiri. Mungkin sang
sutradara ingin menunjukkan pada kita bahwa dunia luar memang sekeras itu. Mulai
dari kerasnya hidup anak jalanan hingga anggota legislatif.
Saya cukup iba
melihat pengkor. Ia menjadi mafia karena keadaan. Ia merupakan wujud nyata dari
korban lingkungan. Bagaimana dendam dapat membuatnya tumbuh menjadi manusia
yang keji. Mengerikan sekali kalau sampai kita berada di lingkungan yang
seperti ini.
Film ini merupakan
salah satu film yang patut ditonton. Selain karena visualnya yang bagus, juga
karena pesannya. Ada beberapa scene yang mencerminkan keadaan masyarakat kita. Seperti
saat ada seseorang yang di palak preman, beberapa orang yang melihat di lantai
atas hanya merekam tanpa membantu. Belakangan saya berpikir, mungkin orang yang
merekam itu sebenarnya ingin juga membatu tapi takut dengan preman. Wajar. Jadi
sebenarnya nggak salah juga. Kalau saya ada di kondisi yang sama juga mungkin
saya belum tentu berani melawan preman itu hehe.
Lalu perkataan
Awang dan rekan kerja Sancaka. Banyak dari kita mungkn menganut, ogah ah ikut
campur urusan orang lain hidup gue aja udah ribet. Benar sih memang. Mencampuri
urusan orang lain itu bisa jadi membuat hidup kita lebih complicated. Apalagi setara
yang dilakukan Sancaka yang taruhannya nyawa. Tapi, bukanya itu memang sudah
jadi tradisi kita untuk saling bantu? Kalau di luar negeri yang mayoritasnya
individualis mungkin pahamnya si Awang ini bisa di anut. Tapi, menurut saya
kalau di negeri ini rasanya lebih masuk menganut paham rekan kerja Sancaka. Hidup
taka da gunanya jika tidak memberikan manfaat pada orang lain. Yaaa meski tiap
orang berbeda-beda hehe. Jadi, terserah mau pakai paham yang mana. Film ini nggak seserius itu juga kok, ada humornya jugaa hihi.
Intinya, film
ini wajib buanget ditonton! Hehe
1 comment