***
Dari dulu, kita selalu diajarkan untuk menabung. Orangtua, guru, atau orang dewasa lainnya selaluuuuu aja bilang kalau menabung itu penting untuk hidup kita kelak. Punya tabungan banyak bakalan bisa bikin hidup kita tenang 😎
Tapi, rasanya sebelum bisa menabung, skill yang harus kita punya adalah ‘menghabiskan uang’ dengan cara yang benar. Plis jangan melotot dulu sambil lempar kartu debit ke saya *ngarep 🤪
Kenapa kita harus belajar cara menghabiskan uang? Bukannya itu hal yang paling mudah dilakukan? Bahkan untuk anak kecil sekali pun 🤔
Memang sih kedengarannya mudah. Tapi, ternyata butuh waktu dan kesadaran juga buat paham makna menghabiskan uang atau lebih tepatnya berbelanja. Saya sendiri, sejujurnya nggak mendapatkan ‘ilmu berbelanja’ ini saat kecil. Orangtua saya, terutama ayah, justru selalu berusaha memenuhi kebutuhan dan keinginan saya dan saudara-saudara saya selayaknya orangtua yang ingin anaknya selalu bahagia. Yang sayangnya hal tersebut justru bikin saya terlena 😕
Pada akhirnya hal ini pun menjadi kebiasaan yang berlanjut sampai usia 20an. Baru kerasa sewaktu punya penghasilan sendiri. Itu pun harus melewati banyak tahap (gaji yang auto ludes nggak tahu hilang ke mana). Hal yang saya sesali, kenapa saya nggak sadar finansial lebih cepat? Andai kalau saya sadar cepat mungkin saya akan mendapatkan banyak hal yang saya idam-idamkan sekarang *mulai kemaruk haha 🤣
Sebelum kita bisa menabung, seenggaknya hal pertama yang kita lakukan adalah mendapatkan uang (entah uang saku atau gaji). Berapa pun nominal yang kita terima, bakalan bisa lenyap gitu aja kalau kita nggak bisa memahami apa tujuanmu berbelanja. Bahkan, seorang yang bergaji 5juta sekali pun bisa jadi akan selalu kurang kalau dibanding dengan orang yang bergaji 2juta yang mampu berbelanja dengan baik 😶
Memahami tujuan berbelanja
Kebutuhan setiap orang memang berbeda. Apalagi, didukung latar belakang dan cara pandang seseorang. Bahkan, kelas sosial seseorang juga turut serta dalam caranya membelanjakan uang. Maka dari itu, tujuan berbelanja setiap orang pun akan berbeda-beda. Ada yang berorientasi pada fungsi, ada pula yang mementingkan kualitas 🙂
Sederhananya, saat ada 3 orang di sebuah kantor yang sama dengan jabatan yang sama (gaji pun sama), diberi uang Rp100.000 untuk makan, pasti mereka memiliki cara tersendiri dalam menghabiskan uang itu. Ada si A yang memilih untuk makan di warung sebelah. Menunya secukupnya. Si A bisa menghabiskan Rp30.000 dengan lauk lengkap + es teh manis yang menyegarkan 😍
Si B yang mager mungkin akan lebih memilih GoFood. Memilih makanan kekinian tapi tetap mempertimbangkan harga, alias cari yang lagi promo kalo bisa. Paling mahal si B akan menghabiskan Rp60.000 😆
Berbeda dengan si C yang memilih untuk keluar kantor dan mencari restoran yang enak. Merasa jatah uang Rp100.000 harus dinikmati dengan baik, C akan menghabiskan jatah tersebut. Bahkan bisa jadi kurang 😃
Ketiga orang tersebut memiliki tujuan yang berbeda. Si A lebih memilih makan di warung karena tujuan makan adalah yang penting kenyang. Kalau ada uang lebih dan bisa ditabung, kenapa nggak? 😉
B memilih kenyamanan dan kenikmatan, tapi tetap mempertimbangakn harga. Berbeda dengan C yang memilih apa yang ia inginkan tanpa mempertimbangkan berapa yang ia habiskan karena menurutnya ia perlu makan-makanan yang enak dan bergizi supaya lebih semangat untuk bekerja. Meski sama-sama kenyang, tapi mereka memilih cara yang berbeda 😜
Value barang
Kalau tadi contohnya soal makanan yang penting kenyang, berbeda dengan saat kita akan membeli barang. Setiap barang punya fungsi dan nilainya tersendiri. Kali ini kita bakalan kasih 3 orang yang sama uang Rp500.000 untuk membeli sepatu 👟
Si A akan memilih sepatu dengan harga paling mahal Rp100.000. Ini dilakukannya karena merasa cukup dengan sepatu tersebut sehingga bisa menabung lebih sisa jatah membeli sepatu tersebut ✨
Si B akan memilih sepatu yang dapat bertahan cukup lama dengan harga maksimal Rp250.000. Kalau bisa ia akan mencari sepatu bermerek yang ia tahu berkualitas yang sedang ada diskon 😍
Sedangkan si C akan memilih sepatu bermerek seharga Rp500.000 karena ia merasa mampu membelinya dan kualitas sepatu tersebut akan cukup baik digunakan dalam jangka waktu yang lama. Jadi ia nggak perlu beli sepatu lagi dalam jangka waktu yang lama 🤩
Pada setiap barang akan memiliki nilai yang berbeda. Seperti hukum jual beli yang kita tahu. Harga tentu sebanding dengan kualitas. Semakin mahal suatu barang, maka kualitasnya nggak perlu diragukan lagi. Dalam hal keawetan, model/design, dan kualitas bahan yang digunakan 👍🏼
Dalam pemilihannya, si A lebih memilih yang murah meski tahu kualitas sepatu tersebut nggak begitu baik. Bisa jadi dia nggak mempertimbangkan sepatu tersebut nggak akan bertahan lama. Dan hal ini bakalan jadi pengeluaran yang terus menerus kalau dia nggak cepat sadar. Bahkan bisa jadi A harus mengeluarkan lebih dari Rp500.000 dari jatah awal karena sepatu tersebut rusak dan mengharuskannya ganti berkali-kali. 😶
Berbeda ceritanya kalau A sudah mempertimbangkan sepatu tersebut nggak akan bertahan lama. A membeli sepatu tersebut lantaran banyak pengeluaran untuk bulan ini. Karena sepatunya sudah nggak layak pakai, maka A memutuskan untuk membeli sepatu seharga Rp100.000 dulu. Bulan berikutnya kalau sepatu tersebut sudah rusak lagi maka ia akan membeli yang lebih awet 😁
Dalam keputusannya, B mempertimbangkan kualitas beserta harga. Ia sadar sepatu yang baik tentu memiliki harga yang tinggi. B pun mampu mendapatkan sepatu yang seharusnya memiliki harga Rp500.000 (atau bahkan lebih) dengan hanya mengeluarkan Rp250.000 dengan memanfaatkan diskon yang ada 🤪
Lain halnya dengan C yang memilih menghabiskan jatah Rp500.000 untuk membeli sepatu yang bermerek, lantaran mengutamakan kualitas dan penggunaan jangka panjang. Berbeda dengan pemilihan makanan yang memiliki tujuan kenyang, benda mempunyai nilai dan waktu penggunaan 👀
Memanfaatkan momen
Dalam satu tahun, tentu banyak banget momen yang dimanfaatkan toko untuk membuat kita berbelanja. Dengan memanfaatkan hari spesial seperti diskon akhir tahun, promo Ramadan, atau tiap bulan dengan angka yang sama ( tanggal 4 bulan April, tanggal 11 bulan November, dst) 🥳
Momen ini tentu sangat penting dimanfaatkan untuk membeli barang kebutuhan (dan sesekali keinginan hehe). Bukan berarti mereka yang berbelanja menanti momen seperti ini adalah mereka yang gila shopping. Justru mereka pintar memanfaatkan peluang (menurut saya sih) 🤩
Bisa jadi mereka yang berbelanja banyak saat momen spesial ini, akan mampu menghemat banyak dana untuk ke depannya. Semoga saja nggak sampai menimbun juga. Karena melihat banyaknya promo bundling kadang membuat kita menimbun barang yang sama karena harga yang jauh lebih murah 🙀
Apalagi, kalau ada pikiran, “Belum tentu besok ada promo gila kayak gini lagi”. Sungguh terkadang saya merasa strategi marketing sungguh jahat memanfaatkan psikologis seseorang 😬
Mengikuti tren
Sejak era digitalisasi, berbelanja pun ikutan shifting ke media online. Sekarang, dengan di rumah aja kita bisa belanja dengan mudah dan cepat lewat marketplace atau onlineshop. Menurut saya ini adalah hal yang penting untuk diketahui dalam mengelolah uang 💰
Saya pribadi, sebenernya bukan tipikal orang yang mudah percaya dengan belanja online. Tapi, sekarang mau nggak mau saya kudu mulai membiasakan diri. Apalagi sekarang dengan adanya toko online, kita bisa mendapatkan barang yang sama dengan yang dijual di toko fisik dengan harga yang jauh lebih rendah 😆
Kalau dihitung-hitung, kita nggak perlu mengeluarkan tenaga untuk ke luar rumah, nggak perlu keluar uang transport, hemat waktu, dan kita bisa mendapatkan harga jauh lebih murah. Yakin masih nggak mau memanfaatkan marketplace? Haha 😆
Marketplace juga punya banyak fasilitas yang bisa dimanfaatkan seperti bebas ongkir, cod, cashback, dll. Tapi, banyaknya marketplace juga kadang bisa bikin kita bingung mau pakai yang mana, ya nggak sih? Mulai dari Tokopedia, Shopee, Lazada, Bukalapak, dll. Apalagi buat yang baru berusaha mempercayai belanja online (kayak saya haha) 🤪
Mengelolah keuangan memang gampang-gampang sulit. Kalau dipikir-dipikr, meski sempat menyesal nggak bisa membelanjakan uang dengan bijak, mungkin saya memang harus mengalami ‘gaji yang ludes nggak tahu ke mana’ biar paham gimana cara mengatur uang yang baik. Kalau saya nggak pernah merasakan pengalaman itu, bisa jadi saya nggak akan se-aware ini sekarang. Dan bisa juga ke depannya saya bakalan mengalami hal-hal yang lebih fatal (naudzubillah) 😥
Ketiga contoh cara berbelanja di atas semuanya benar dan nggak ada yang salah. Karena setiap orang mempunyai cara pandang yang berbeda dalam berbelanja. Ada yang berdasarkan pada fungsi (yang penting bisa dipakai atau yang penting kenyang), ada pula yang berdasarkan pada kualitas dengan pertimbangan harga, ada pula yang hanya memperhatikan kualitas karena merasa mampu 😄
Sejauh ini dalam berbelanja hal-hal di atas inilah yang perlu dperhatikan. Semoga saja nggak ada teman-teman yang telat menyadari cara berbelanja yang bijak. Seperti kata pepatah, lebih baik mencegah daripada mengobati, bukan? 😉
4 comments
Saya yang termasuk telat sadar financial. Huhuhu...
Klo diingat suka kesel sendiri, coba kalau nggak begini dan begitu. Hahaha...
Sekarang setelah jadi mamak-mamak aku lebih perhitungan dan berhati-hati, memprioritaskan sesuatu berdasarkan kebutuhan bukan keinginan kecuali sesekali untuk self reward saja 😁
wah apalagi kalo udah berumah tangga kudu ekstra perhitungan ya
kalo salah-salah bisa diamuk suami hihi
semangat mbaakkk pipit~