Sumber: Youtube/Jejak Literasi Bali |
Pagi itu adik saya bangun kesiangan. Jam menunjukkan hampir pukul 7 pagi. Dengan santai ia bertanya pada ibu di mana seragamnya. Setelah menemukannya, ia memakai atasan seragam dengan tetap menggunakan celana tidur.
Alih-alih memilih meja, kasur menjadi tempat favoritnya setiap pagi. Ia letakkan ponselnya di atas meja lipat kemudian menerima panggilan video. Suara berisik anak-anak kelas 5 SD mulai terdengar dan guru pun mengatakan kelas akan segera dimulai.
Meski sudah berlangsung beberapa hari, saya masih janggal dengan pemandangan ini. Aneh rasanya melihat adik saya sekolah dari atas kasur tanpa sarapan dan mandi. Terlebih lagi tanpa menggunakan seragam lengkap.
Masih segar dalam ingatan, bulan Maret 2020 media sosial dan portal berita Indoensia mengabarkan berita tidak menyenangkan dengan kabar virus Corona atau COVID-19 yang masuk ke Indonesia. Kepercayaan diri akan ketidakmungkinan tanah air tercinta mengalami pandemi pun luntur seketika.
Hingga beberapa bulan berlalu dan virus semakin merajalela. Wajah tertutup masker, kerumunan dibubarkan. Kebijakan lockdown diputuskan, masyarakat dianjurkan melakukan segala kegiatannya di rumah. Pekerja, mahasiswa, dan anak sekolahan terhenti sejenak dari rutinitas harian. Bertatap muka menjadi hal yang dihindari pada saat itu.
Terkurung di rumah dalam waktu yang tidak dapat dipastikan, membuat banyak orang mempertanyakan kelangsungan hidup mereka. Dari penghasilan yang terhenti karena tidak bekerja dan kegiatan belajar mengajar yang tidak jelas kapan dilaksanakannya lagi.
Pemerintah pada akhirnya memutuskan untuk melakukan pembelajaran jarak jauh (PJJ) melalui daring (dalam jaringan). Meski bukan keputusan yang mudah, tetapi hal ini dilakukan demi tetap berlanjutnya pendidikan. Pada saat itulah gawai, jaringan, dan kuota internet memegang peran penting bagi anak-anak untuk mendapatkan nilai.
Sayangnya, hal ini menjadi masalah baru bagi masyarakat menengah ke bawah yang masih banyak tidak memiliki gawai. Satu keluarga, barangkali hanya satu gawai. Itu pun hanya diisi pulsa seperlunya saja untuk dipakai bergantian.
Tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan, lantas bagaimana mereka harus memenuhi kebutuhan anak akan gawai dan kuota untuk sekolah daring? Jangankan untuk membeli gawai, untuk memenuhi kebutuhan harian saja, mereka kesulitan terdampak pandemi.
Keadaan inilah yang dialami oleh masyarakat Desa Pemuteran, Buleleng, Bali. Terkenal dengan surga snorkeling, diving, dan konservasi terumbu karang, menjadikan Desa Pemuteran bertumpu pada sektor pariwisata sebagai penggerak roda ekonominya.
Melihat desa yang sepi karena terdampak pandemi, menggerakkan hati Gede Andika untuk mendirikan KREDIBALI (Kreasi Edukasi Bahasa dan Literasi Lingkungan). Yang mana program ini menyelesaikan tiga permasalahan sekaligus, yaitu pendidikan, lingkungan, dan kemanusiaan.
Inspirasi Setelah Mengikuti Konferensi Internasional
Gede Andika adalah sosok yang memiliki minat tinggi pada pendidikan. Ketertarikannya membuatnya aktif mengikuti dan mengadakan kegiatan sosial pada bidang pendidikan di sela-sela kesibukannya kuliah. Tak hanya itu, Gede Andika juga sering mengikuti konferensi tingkat dunia untuk mendapatkan sudut pandang baru dan solusi dalam setiap permasalahan.
Sepulangnya ia dari mengikuti konferensi tingkat Asia, Gede Andika tergerak untuk membangun komunitas yang peduli pada pendidikan anak-anak di pelosok Bali yang diberi nama Jejak Literasi Bali. Komunitas ini diinisiasinya bersama seorang temannya yang juga peduli akan pendidikan anak-anak di Bali.
Sumber: andikawerateja.com |
Tahun 2019, Jejak Literasi Bali resmi melakukan kegiatannya. Gede Andika dan temannya melakukan berbagai kegiatan kolaborasi dengan berbagai pihak, seperti Fun Coloring Day, Kreasi Edukasi dan Literasi Sekolah, Gerakan 1000 Buku Dongeng, dan Bedah Perpustakaan.
Melalui kegiatan yang dilakukan para pemuda Bali dengan tulus ini, banyak anak pedalaman yang akhirnya dapat merasakan bagaimana proses belajar yang menyenangkan. Mendapatkan hal-hal baru dan ilmu yang seharusnya mereka dapatkan seperti teman-teman seusianya. Yang sayangnya tertunda karena keadaan.
Nyatanya banyak anak-anak di pedalaman yang tidak sekolah karena faktor ekonomi keluarga yang kurang mendukung. Mereka pun banyak yang terpaksa bekerja di usia dini. Selain faktor ekonomi, juga karena jarak sekolah yang terlalu jauh.
Kurangnya pemahaman orang tua akan pentingnya pendidikan juga turut serta dalam memutus rantai masa depan anak. Bagi mereka yang terpenting adalah bagaimana bertahan hidup. Beruntung ada sosok pemuda yang peduli dan mau menjembatani anak-anak dengan masa depan mereka.
Seiring berjalannya waktu, komunitas ini telah berkontribusi dalam meningkatkan literasi anak-anak di Bali. Jejak Literasi Bali terbuka bagi siapa saja yang ingin membantu anak-anak di pelosok Bali memiliki pengalaman belajar. Karena tentunya, semakin banyak sosok yang peduli, semakin banyak pula anak yang merasa terbantu.
Demi memiliki komitmen yang sama, Gede Andika melakukan seleksi untuk anggota Jejak Literasi Bali. Sedangakan bagi relawan yang tertarik untuk bergabung dapat mendaftar saat kegiatan akan dilaksanakan.
Kampung Halaman yang Terasa Asing
Tahun 2020, Gede Andika sudah bekerja di salah satu perusahaan. Namun, karena adanya kebijakan bekerja dari rumah (work from home), pemuda tersebut memilih untuk pulang ke kampung halamannya di Desa Pamuteran, Buleleng, Bali.
Sumber: Youtube/Jejak Literasi Bali |
Sesampainya di desa, Gede Andika terkejut dengan keadaan kampung halamannya. Desa yang biasanya ramai turis asing dan lokal, kini tampak sepi. Hotel dan guest house tampak tidak terurus. Terbengkalai begitu saja seakan terlupakan bahwa dulu di sana begitu sulit mendapatkan kamar. Perahu yang biasanya penuh penumpang, kini terparkir rapi di tepi pantai entah sudah berapa lama tidak digunakan.
Melihat keanehan itu membuat Gede Andika tergerak untuk mencari tahu lebih dalam apa yang sebenarnya terjadi di Desa Pamuteran. Keprihatinan melanda hatinya saat tahu begitu banyak anak sekolah yang tidak memiliki akses sekolah daring (dalam jaringan) seperti yang telah diputuskan pemerintah. Desa yang hanya bertumpu pada sektor pariwisata ini, mengalami kelumpuhan akibat pandemi COVID-19.
Masyarakat yang biasanya bekerja, kini tidak bekerja dan tidak memiliki penghasilan. Para orang tua pada akhirnya tidak dapat memenuhi kebutuhan anak untuk membeli gawai atau kuota.
Jangankan membeli gawai, untuk kebutuhan sehari-hari saja mereka kesulitan. Para lansia yang memiliki anak di usia produktif pun kesulitan memenuhi kebutuhan dapur.
Keadaan ini tentunya membuat pemuda kelahiran 21 April 1997 tersebut khawatir dengan masa depan anak-anak di desanya. Bayangan mereka terancam putus sekolah membuat hatinya sedih. Belum lagi, menurut data yang ditemukannya, Buleleng memiliki angka putus sekolah yang tinggi.
Melihat kondisi ini membuat Gede Andika tidak bisa menutup mata begitu saja. Sebenarnya, kepulangannya kali ini juga dalam rangka mempersiapkan diri untuk melanjutkan studi S2 di UK. Keraguan untuk melanjutkan studi pun menyelimuti hatinya. Apakah ia akan memilih melanjutkan studi S2 di UK dan abai dengan peramasalahan di kampung halamannya, atau ia harus menunda studinya untuk membantu anak-anak di sana?
Keputusan di ambil. Gede Andika telah membulatkan tekad untuk membantu anak-anak di desanya.
Membuat Program KREDIBALI
Sumber: andikawirateja.com |
Sebagai daerah pariwisata, Desa Pamuteran memiliki potensi yang sayang jika tidak dimanfaatkan dengan baik. Melihat potensi itu, Gede Andika pada akhirnya memutuskan untuk membuka pembelajaran bahasa Inggris secara langsung tanpa biaya untuk anak SD dan SMP di desanya yang diberi nama KREDIBALI (Kreasi Edukasi Bahasa dan Literasi Lingkungan).Pemuda ini memiliki harapan agar kelak anak-anak di desanya mampu memiliki kesempatan yang lebih baik dengan menguasai bahasa inggris.
Perjuangan Gede Andika tentu tidak selalu mulus. Awalnya, banyak penolakan yang terjadi khawatir menimbulkan kerumuman karena sedang berlangsung pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Hingga akhirnya, izin pun didapatkan dengan syarat menerapkan protokol kesehatan dan menjaga jarak. Pemerintah desa pun turut memberikan dukungan dengan menyediakan tempat belajar.
“Kelas yang hanya ada satu, lambat laun bertambah menjadi tiga karena antusiasme dari anak-anak dan orang tua.”
Lega mendapatkan solusi untuk anak-anak, Gede Andika menemukan permasalahan baru di lingkungannya. Karena hanya bergantung pada sektor pariwisata, banyak masyarakat yang kehilangan sumber pendapatan, sehingga sulit memenuhi kebutuhan sehari-hari, termasuk para lansia kurang mampu.
Kebanyakan tempat wisata memiliki image yang tidak selalu baik perihal lingkungan. Karena banyak orang yang berdatangan dari berbagai daerah, membuat tempat wisata aktif melakukan kegiatan ekonomi. Sayangnya, seringkali hal ini tidak dibarengi dengan upaya menjaga lingkungan. Tidak heran, kalau setiap tempat wisata pada akhirnya memiliki lingkungan yang kotor dengan permasalahan utama sampah.
Sumber: andikawirateja.com |
Melihat permasalahan tersebut, membuat Gede Andika berusaha menemukan solusi terbaik. Akhirnya muncullah ide dengan menjadikan plastik sebagai persyaratan mengikuti pembelajaran KREDIBALI. Plastik tersebut nantinya akan dikumpulkan dan ditukar dengan beras yang akan dibagikan untuk lansia kurang mampu. Dalam mewujudkannya, Gede Andika bekerja sama dengan Plastic Exchange.
Ide ini menjadi kunci dalam menyelesaikan tiga permasalahan sekaligus secara bertahap di Desa Pamuteran. Anak-anak dapat belajar bahasa Inggris, sampah plastik di lingkungan berkurang, dan lansia kurang mampu dapat memiliki beras sebagai bahan pangan utama.
“Salah satu keinginan saya ke depan adalah bisa membuat sekolah informal yang menggabungkan soft skill dan hard skill siswa pada tahun ketiga atau keempat nanti,” kata Gede Andika.
Sumber: Youtube/Jejak Literasi Bali |
Mengabdi untuk desa tepat tinggalnya sosok Gede Andika yang berjuang menjadikan #KitaSATUIndonesia. Hingga saat ini, KREDIBALI telah memiliki sejumlah anak didik yang semakin bertambah setiap harinya.
Tidak berhenti sampai di situ, Gede Andika ingin menambahkan bahasa Jepang dan Mandarin pada kurikulumnya. Dua bahasa tersebut dipilih karena melihat banyaknya wisatawan dari Asia yang datang ke Desa Pamuteran. Gede Andika optimis anak-anak akan memiliki masa depan lebih baik dengan dapat berbahasa asing.
Sering mengikuti konferensi tingkat dunia, membuat Gede Andika sadar bahwa komunikasi adalah kunci dari terbukanya banyak peluang. Ia senang dan bangga pada kemajuan anak-anak Desa Pamuteran yang mulai percaya diri dalam berkomunikasi dengan bahasa asing. Begitu pula para orang tua yang turut bangga dan merasa terbantu dengan kegiatan yang diinisiasi oleh Gede Andika.
Pemandangan Desa Pamuteran dari hari ke hari pun lebih terlihat bersih dari sebelumnya. Bukan hanya sebagai alat tukar belajar bahasa, kegiatan ini berperan mengedukasi masyarakat setempat mengenai pentingnya menjaga lingkungan. Sekaligus memberikan pemahaman bahwa sampah juga memiliki nilai.
Sosok Gede Andika membuat saya senang ternyata banyak pemuda yang peduli pada sesama yang turut memberikan solusi dan tindakan nyata sebagai upaya #BangkitBersamaUntukIndonesia setelah pandemi. Meski saat ini keadaan sudah sedikit lebih baik setelah pandemi, untuk dapat bangkit kembali setelah keterpurukan dibutuhkan usaha yang lebih besar dari sebelumnya.
Di sinilah, para pemuda dapat mengambil peran. Jujur, setelah membaca banyak cerita mengenai sosok Gede Andika membuat saya terinspirasi untuk mengambil tindakan kecil sesuai kemampuan saya. Sekecil apapun itu, saya rasa akan memiliki dampak positif bagi lingkungan. Ibarat pepatah, sedikit demi sedikit lama-lama menjadi bukit.
10 comments
Yang begini harusnya yang kita tiru. Sosok pengajar banget, tapi juga mikirin gimana lingkungan tetep bersih dan para lansia bisa mendapatkan beras.
Suatu negara bisa menjadi maju, itu ditentukan juga dengan kualitas SDM nya. Jadi memang fokus ke arah pendidikan juga demi menghasilkan SDM berpendidikan yg bisa bersaing dengan negara maju lain
semangatnya buat memajukan desa tempat tinggalnya luar biasa.
yang aku kagum lagi kalau anak muda berani buat ambil tindakan lebih dulu, kadang aku aja yang kayak gini cuman bisa ngehalu, seandainya bikin komunitas ini itu, tapi cuman sebatas di pikiran aja, ga pernah direalisasikan