Travel

FOLLOW US @ INSTAGRAM

Blogger Perempuan
Intellifluence Trusted Blogger

Banner Bloggercrony

Introspeksi Diri

3 comments

menyalahkan diri sendiri

“Hm, aku salah apa ya?”
Dulu setiap kali ada masalah, saya sering banget nanya ke diri sendiri kayak gini. Apapun yang terjadi. Duh, ini salahku. Apa ya yang bikin aku kayak gini? Kok bisa sih aku ngelakuin kesalahan kayak gini? Aku harus lebih hati-hati. Dan masih banyak kalimat ‘introspeksi diri’ lainnya.

Awalnya saya pikir, kebiasaaan ‘introspeksi diri’ ini baik. Karena saya jadi bisa menyadari kesalahan dan segera membenahinya. Tapi, pertanyaannya adalah, apakah selalu saya yang salah?

Hal ini baru saya sadari saat saya berusia 24 tahun. Waktu itu saya sedang ada di kelas dan kami sedang melakukan diskusi sebuah tugas. Dalam diskusi tersebut, saya nyeletuk,
“Ya, kita bisa tanya ke diri kita sendiri apa kesalahan kita” 
Yang seketika dijawab oleh seorang teman, “Lho, ya nggak bisa. Kan belum tentu kita yang salah” 
“Tapi, kan kita perlu introspeksi diri dan introspeksi diri kan juga buat kebaikan kita sendiri” 
“Iya introspeksi diri emang bagus. Tapi, poinnya di sini bukan kita yang salah. Kalau kita selalu menyalahkan diri dalam sebuah permasalahan, itu toxic. Kan belum tentu juga salahnya ada di kita”
Dari situlah pada akhirnya saya sadar. Bagaimana saya memandang diri saya selama ini ternyata salah. Kebiasaan ini terbentuk karena saya seringkali dipandang berbeda di rumah.

Berbeda

Sebagai anak perempuan satu-satunya, saya sering merasa berbeda dengan adik dan kakak saya. Apakah ini syndrome anak tengah? Hahaha nggak tahu deh 😅 

Perasaan berbeda itu sudah saya rasakan sejak saya kecil. Mungkin, karena saya perempuan dan saudara saya laki-laki semua, begitu saya berpikir pada saat itu.

Setiap kali saya melakukan sesuatu yang berbeda akan dianggap salah oleh ibu. Entah itu perilaku atau cara berpikir. Saya pun sering mendengar ibu mengatakan, “Kamu harus bisa belajar adaptasi, Mbak.”

Kalimat itu berulang selama bertahun-tahun. Hingga tanpa sadar tertanam di alam bawah sadar saya. Sehingga, setiap kali keadaan sedang nggak baik, saya langsung menarik diri dan bertanya, “Aku salah apalagi?”

Keadaan ini membuat saya selalu berusaha untuk memahami orang lain. Buat saya, saya harus bisa memahami setiap kondisi orang lain bagaimana pun keadaannya. Saya harus bisa beradaptasi dan menerima mereka.

“Oh, mereka telat. Yaudah nggak apa-apa.”

“Masalah ini nggak bakalan ada kalau aku bisa lebih baik”

“Mereka nggak salah. Aku yang salah”

“Harusnya aku bisa lebih longgar kali ya”


Sampai Saya Lupa dengan Identitas Diri Sendiri

Setelah diskusi dengan teman saya itulah saya jadi mulai berpikir.
“Oh, ternyata nggak selalu aku yang salah?”
Aneh. Hal sesederhana ini justru baru saya sadari di usia 24 tahun. Sejak saat itulah saya mulai menganalisa setiap momen yang telah terjadi. Menanyakan pada diri apakah itu semua adalah memang salah saya?

Yang ternyata jawabannya adalah tidak.

Lambat laun, saya menyadari kalau ternyata hal yang selalu dipandang salah oleh ibu saya adalah karena adanya perbedaan karakter kami yang sangat kontras. Yang sayangnya hal ini justru membuat saya sulit untuk mengenali diri sendiri.

Setiap Anak Memiliki Keunikannya

Di usia inilah saya akhirnya mulai menyadari makna sesungguhnya kalimat, setiap anak memiliki keunikannya sendiri. Meski dari orang tua yang sama, setiap anak akan memiliki karakter yang berbeda. Bahkan, saya rasa sampai anak ke-9 pun akan selalu berbeda dari kakak-kakaknya.

Meskipun mereka memiliki beberapa kesamaan, tetapi kesamaan itu bisa jadi berbeda. Misalnya si kakak dan adik ke 4 sama-sama suka baca buku. Tapi, ketertarikan mereka dalam genre bukunya berbeda. Si kakak lebih suka baca buku misteri, sedangkan si adik lebih suka membaca buku komedi.
Nggak heran, kalau orang tua pada akhirnya akan selalu menjadi ‘orang tua baru’ bagi setiap anaknya. Karena mereka pada akhirnya akan selalu perlu belajar mengenali dan mengarahkan karakter setiap anak mereka.
Disclaimer, di sini saya nggak menyalahkan cara orang tua saya dalam memperlakukan anaknya. Saya hanya ingin berbagi bagaimana style parenting tersebut mempengaruhi kehidupan saya. 

Dan hal ini pun menjadi pembelajaran saya ke depannya bagaimana saya akan memperlakukan anak kecil. Karena sudah tahu rasa dan akibatnya, jangan sampai anak kecil lainnya merasakan yang saya rasakan hihi 😊
deamerina
Hai! Selamat datang di blog saya. Silahkan menyelami kegiatan yang saya lakuakn. Saya menulis berbagai macam hal seperti review film, buku, skincare, cerita jalan-jalan, dan penalaman pribadi.

Related Posts

3 comments

MizzYani said…
Aku sering ngalemin kayak gitu, sering membatin, salah tidak ya kalo aku bersikap seperti itu ? Padahal, sesekali jadi egois ya gpp juga hehe
Lumrah terjadi ke anak2' yang pola pengasuhannya masih memakai cara lama , seperti ortuku juga. Ada yg beda sedikit dibanding saudaranya yg lain, langsung dianggan salah. Pokoknya semua anak hrs sama .

Aku termasuk yg kena, Krn pertama aku ga sepinter adik2ku yg jago IPA dan berhasil jadi dokter 2-2 nya 😂. Sementara aku sukanya IPS, dan lemah bgt di math, fisika, kimia. Akhirnya dianggab salah, digembleng lebih keras, yg ujung2nya bikin aku berontak.

Setidaknya, Skr aku ga mau pakai cara lama itu dlm mengasih anak2'. Kalo mereka memang kuat di bidang lain, sementara yg satu bidang lainnya, ya sudah. Buatku selama mereka serius dan fokus menjalani, itu cukup. Ga harus sama karakternya satu sama lain.

Tapi introspeksi diri ttp penting. At least kita hrs tau kapan perlu melakukan itu, dan kapan tidak. Patokanku ke agama aja deh. Kalo dlm agama terlarang, ya berarti salah.
Nizwa Khair said…
Jadi ikutan tersadar, bener juga ya yg dibilang temen kamu kalau introspeksi diri tuh nggak melulu harus menyalahkan diri sendiri, lebih ke melihat setiap permasalahan yang datang dari berbagai sudut pandang.